Monday, July 23, 2012

Penangguhan Penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia


BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang
bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana
selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah mata-mata sekedar
sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk
dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu
melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali
kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan
dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum.Read More..>>
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terwujud suatu interaksi, dimana
interaksi tersebut memerlukan batasan-batasan atau bisa dikatakan suatu aturan
yang mengatur interaksi tersebut. Dengan telah disahkannya Rancangan Undang-
Undang Hukum Acara Pidana menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 
(KUHAP), membawa perubahan yang mendasar bagi Hukum Acara Pidana
Indonesia yang sebelumnya berpedoman HIR. Perubahan yang mendasar tersebut
sesuai dengan tujuan KUHAP itu sendiri yaitu memberikan perlindungan Hak
Asasi bagi Tersangka atau Terdakwa dalam keseimbangannya dengan
kepentingan umum. Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam
Undang-Undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama, 

1 Jaminan Penangguhan Penahanan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana,
http://one.indoskirpsi.com/node/10242, diakses pada tanggal 04 Agustus 2009 

namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seseorang Tersangka atau
Terdakwa yang merupakan tujuan yang utama. 
Pembangunan hukum yang bersifat nasional seperti Hukum Acara
Pidana dilandasi oleh motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya, menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta ada
masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum. Meskipun telah diadakan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat Nasional yang telah
disesuaikan dengan keadaan atau kehidupan Hukum Indonesia, KUHAP itu
sendiri tidak luput dari adanya kekurangan. Kekurangan yang terdapat dalam
KUHAP memang banyak menimbulkan suatu permasalahan baru diantaranya
dalam hal penahanan seseorang Tersangka atau Terdakwa. Permasalahan
mengenai penahanan akan tetap menjadi suatu pembicaraan yang sangat menarik
karena penahanan sangat erat kaitannya dengan perampasan hak kebebasan
seseorang. 2 

2 Ibid.
3 Ibid. 

Pasal 1 butir 21 KUHAP, diterangkan bahwa suatu penahanan adalah
penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik atau
Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal dan menurut Acara
yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari pengertian tersebut diatas jelas
dinyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan Tersangka atau Terdakwa
disuatu tempat tertentu dan hanya boleh dilakukan oleh Penyidik,Penuntut Umum,
Hakim dengan suatu penetapan dalam hal serta dengan tata cara yang diatur dalam
Pasal lain dalam KUHAP.3 

Penahanan tersebut merupakan pembatasan terhadap suatu kebebasan
yang dimiliki seseorang khususnya kebebasan bergerak seseorang maka
hendaknya penahanan tersebut dilakukan bilamana memang sangat diperlukan
bagi kepentingan penegakan hukum. Selain itu penahanan juga menimbulkan dua
pertentangan azas yaitu disatu pihak penahanan menyebabkan hilangnya
kebebasan bergerak seseorang, dan di pihak yang lain penahanan dilakukan untuk
menjaga ketertiban yang harus dipertahankan demi kepentingan umum atas
perbuatan jahat yang disangkakan kepada Tersangka atau Terdakwa. Oleh karena
itu segala tindakan penahanan yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang
melakukan penahanan harus sesuai dengan KUHAP, hal ini untuk menghindari
terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan penahanan yang nantinya dapat
menyebabkan akibat hukum yang fatal bagi Pejabat yang melakukan penahanan
yang mana dapat berupa adanya tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi sesuai
dengan apa yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP dan bahkan bisa berupa ancaman
Pidana sesuai dengan Pasal 9 ayat 2 UU No.4 Tahun 2004. 

Untuk menjaga dan agar tidak merugikan kepentingan Tersangka atau
Terdakwa dikarenakan adanya penahanan yang kemungkinan dapat
dilangsungkan dalam waktu yang cukup lama maka dalam Hukum Acara Pidana
diatur suatu ketentuan mengenai bahwa Tersangka atau Terdakwa dapat memohon
penahanannya untuk ditangguhkan. Mengenai penangguhan penahanan tersebut
diatur dalam Pasal 31 KUHAP, dimana penangguhan tersebut dapat dikabulkan
oleh Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sesuai dengan kewenangannya masing-
masing dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang
berdasarkan syarat-syarat tertentu. 

Dengan adanya peraturan mengenai dapat dimohonkannya penangguhan
terhadap suatu penahanan, mungkin memberikan sedikit angin segar pada para
Tersangka atau Terdakwa. Namun, mengenai penangguhan penahanan ini juga
tidak luput dari kekurangan dan sudah barang tentu dapat menimbulkan suatu
permasalahan yang baru bagi masyarakat yang mencari kepastian hukum. 4
Pasal 31 KUHAP hanya menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa
dapat memohon suatu penangguhan, penangguhan tersebut dapat dikabulkan oleh
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing
dengan menetapkan ada atau tidaknya jaminan uang atau orang berdasarkan
syarat-syarat tertentu serta apabila syarat tersebut dilanggar maka penangguhan
tersebut dapat dicabut kembali dan Tersangka atau Terdakwa tersebut dapat
kembali ditahan. Pengaturan tersebut dirasa sangat kurang memberi kejelasan
pelaksanaan penangguhan penahanan dalam praktek.
Diatas telah diuraikan bahwa penangguhan dapat dilaksanakan dengan
atau tidak adanya jaminan berupa uang atau jaminan orang, namun KUHAP tidak
menjelaskan mengenai besarnya jumlah uang jaminan tersebut apabila
penangguhan tersebut dilaksanakan dengan adanya jaminan uang dan apabila
penangguhan dilaksanakan dengan jaminan orang KUHAP juga tidak
memberikan penjelasan. 

4Ibid 

Selain itu Pasal 31 KUHAP juga tidak menjelaskan mengenai akibat
hukum dari si jaminan apabila Tersangka yang ia jamin tersebut melarikan diri.
Maka dari itu dalam hal penangguhan penahanan ini Pejabat yang berwenang
menahan tersangka atau terdakwa tersebut tidak diwajibkan untuk mengabulkan
setiap adanya permohonan penangguhan penahanan dan dapat menolak
permohonan penangguhan penahanan tersebut dengan suatu alasan tertentu dan
tetap menempatkan Tersangka atau Terdakwa dalam tahanan. 

Bila suatu penangguhan penahanan tersebut dikabulkan oleh Pejabat
yang melakukan penahanan maka berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, Pejabat
tersebut dapat menetapakan suatu jaminan baik berupa jaminan uang atau jaminan
orang. Penetapan ada atau tidaknya suatu jaminan dalam KUHAP bersifat
fakultatif. 5 

5 Ibid
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), cetakan kelima, Sinar Grafika, Jakarta 2003, hal.164 

Menurut M.Yahya Harahap berpendapat bahwa penetapan jaminan
dalam penangguhan penahanan tidak mutlak. Tanpa jaminan tindakan pemberian
penangguhan penahanan tetap sah menurut hukum. Cuma agar syarat
penangguhan penahanan benar-benar ditaati, ada baiknya penangguhan dibarengi
dengan penetapan jaminan. Cara yang demikianlah yang lebih dapat
dipertanggung jawabkan demi upaya memperkecil tahanan melarikan diri. 6 

Mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31
KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaannya
serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau
kepada orang yang menjamin, sedangkan tentang alasan penangguhan penahanan 

tidak ada disinggung dalam pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan Pasal
tersebut. Jika ditinjau dalam segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap
tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam
penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan. 

Akan tetapi sekalipun Undang-Undang tidak menentukan alasan
penangguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada instansi
yang menahan untuk menyetujui atau tidak menagguhkan, sepatutnya instansi
yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan ketertiban umum
dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif.
Sedangkan dalam KUHAP sendiri disebutkan dengan jelas bahwa Tersangka atau
terdakwa berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan. 

Berdasarkan Penjelasan Pasal 31 KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa penangguhan penahanan adalah faktor
yang menjadi dasar dalam pemberian penangguhan penahanan. Penangguhan
penahanan harus dimajukan oleh Tersangka atau Keluarganya ataupun dapat juga
dimajukan oleh Penasehat Hukum Tersangka dengan suatu jaminan uang dan
jaminan orang. Berdasarkan syarat yang telah ditentukan. 

Penyidik juga mempunyai dasar yang kuat diberikannya penangguhan
penahanan kepada pemohon karena keyakinan dari Penyidik bahwa pemohon
dapat memenuhi syarat-syarat perjanjian yang disetujui antara Penyidik maupun
Pemohon. Dan yang paling mendasar ialah indikator kekhawatiran yang paling
utama agar Penyidik tidak merasa khawatir akan kesanggupan Pemohon dalam
memenuhi persyaratan yang telah disepakati. 

Dengan demikian, jelaslah bahwa penangguhan penahanan diterima
ataupun ditolak dengan dasar Penyidik merasa yakin atau tidaknya bahwa
Tersangka dapat menyanggupi persyaratan yang telah disepakati oleh Penyidik
dan Pemohon. Ditolaknya penangguhan penahanan tersebut dikarenakan Penyidik
khawatir Tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta
menyulitkan Penyidik dalam proses penyidikan yang sedang berlangsung. 

B. Perumusan Masalah 

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka dapat ditarik
beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk dibahas lebih lanjut.
Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah : 

1. Bagaimana pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam Hukum
Acara Pidana di Indonesia?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan
penangguhan penahanan dalam permeriksaan perkara pidana di Tingkat
Penyidikan? 

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan 

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan
penulisan skripsi ini adalah : 

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang penangguhan penahanan dalam
Hukum Acara Pidana di Indonesia. 

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan
penolakan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di
Tingkat Penyidikan.
2. Manfaat Penulisan 

Adapun manfaat penulisan dari skripsi ini adalah : 

a. Teoritis 

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran
dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan
hukum pidana khususnya mengenai penangguhan penahanan dalam proses
pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan. 

b. Praktis 

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat
penegak hukum mengenai penangguhan penahanan dalam proses permeriksaan
perkara pidana di tingkat penyidikan. 

D. Keaslian Penulisan 

Penulisan skripsi mengenai penangguhan penahanan dalam proses
pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan belum pernah diangkat di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian penulis
menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya penulis dan belum pernah
diangkat oleh penulis lain dengan permasalahan yang sama. Skripsi ini dibuat
berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku serta informasi
yang didapat dari media baik cetak maupun elektronik, juga dilengkapi dengan 

fakta-fakta yang didapat dari hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis. Jika
dikemudian hari, ada skripsi yang sama maka penulis akan mempertanggung-
jawabkan sepenuhnya. 

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Penahanan dan Penangguhan Penahanan
a. Penahanan 

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengenai penahanan diatur dalam
HIR (Her Herziene Reglement). Akan tetapi setelah berlakunya KUHAP,
mengenai penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai Pasal 31, dimana untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak
hukum berwenang melakukan penahanan.
Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penahanan dijelaskan dalam
Pasal 1 butir 21:
“Penahanan adalah penempatan Tersangka atau Terdakwa ditempat
tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. 

Menurut Van Bemmelen, penahanan adalah sebagai suatu pancung yang
memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis ini dapat dikenakan
kepada orang-orang yang belum tentu bersalah. 7 

7 Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanase dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana,
Angkasa Bandung, Bandung 1990, hal.87 

Martiman Projohamidjojo dalam bukunya memberikan kemerdekaan
Tersangka atau Terdakwa dan untuk menempatkannya di tempat tertentu,
biasanya ditempatkan di rumah tahanan negara yang dahulu disebut Lembaga
Permasyarakatan. 8 

8 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan (Seri Pemerataan
Keadilan), Ghalia Indonesia, Jakarta 1984, hal.15
9 M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 164 

Berdasarkan Pasal 1 butir 21 KUHAP diatas, semua instansi penegak
hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Juga dari ketentuan
tersebut telah diseragamkan istilah tindakan penahanan. Tidak dikacaukan lagi
dengan berbagai ragam istilah seperti yang dahulu dalam HIR, yang membedakan
dan mencampur aduk antara penangkapan, penahanan sementara dan tahanan
sementara, yang dalam peristilahan Belanda disebut de verdachte aan te houdan
(Pasal 60 ayat (1) HIR). Serta untuk perintah penahanan yang dimaksud Pasal 83
HIR dipergunakan istilah zijn gevangen houding bevelen. 9
Dalam KUHAP, semuanya disederhanakan. Tidak lagi dijumpai
kekacauan antara pengertian penangkapan dengan penahanan sementara atau
tahanan sementara. Juga tidak ada lagi kekacauan mengenai masalah wewenang
yang berhubungan dengan penahanan sementara dan tahanan sementara. Yang ada
hanya dua istilah dengan batas wewenang yang tegas, yaitu penangkapan yang
wewenangnya diberikan kepada penyidik. Batas waktunya hanya 1 (satu) hari dan
mesti ada surat tugas serta perintah penangkapan. Berbeda dengan HIR, memberi
wewenang penangkapan baik kepada Polri atau Jaksa, dan dalam tempo 10
(sepuluh) hari boleh dilakukan penangkapan tanpa surat perintah. 

Demikian pula halnya dalam penahanan. Istilahnya cukup sederhana
tanpa embel-embel kata “sementara”. KUHAP hanya mengenal istilah
“penahanan” yang wewenangnya diberikan kepada semua instansi penegak
hukum, dan masing-masing mempunyai batas waktu yang ditentukan secara
limitatif. 

Sehubungan dengan penetapan waktu yang sangat terbatas bagi setiap
instansi, menciptakan tegaknya kepastian hukum dalam penahanan. Tidak lagi
seperti dulu, pada masa HIR, yang melebihi satu atau dua tahun. Benar-benar
tidak ada kepastian hukum bagi seorang tersangka yang ditahan. 

Sebelumnya menahan tersangka dalam rangka pelaksanaan penyidikan
adalah merupakan suatu tindakan darurat. Artinya penahanan itu dilakukan jika
memang diperlukan sekali. Disamping itu karena penahanan ini langsung
menyentuh hak asasi manusia yang paling pokok yaitu kebebasan bergerak dari
seseorang, maka untuk mencegah jangan terjadi pembatasan yang mengarah
kepada tindakan pemerkosaan has asasi, maka Undang-Undang menentukan
syarat-syarat yang ketat dalam rangka pelaksanaan penahanan itu. 

b. Penangguhan Penahanan 

Penangguhan penahanan diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan
ketentuan Pasal 31, pengertian penangguhan penahanan Tersangka atau Terdakwa
dari penahanan, yaitu mengeluarkan Tersangka atau Terdakwa dari penahanan
sebelum batas waktu penahanannya berakhir. 

Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun
pelaksanaan penahanan yang harus dijalani tersangka atau terdakwa, 

ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum
habis. Dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa
dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang
berjalan.
Penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan.
Perbedaan terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang
mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan penahanan dengan pembebasan
dari tahanan. 

Dari segi hukum, pelaksanaan dan persyaratan : 10 

10 Andi Hamzah, Op.cit, hal. 72 

1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi berada dalam batas
waktu penahanan yang dibenarkan Undang-Undang. Namun
pelaksanaan penahanan diberhentikan dengan jalan mengeluarkan
tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat
penangguhan penahanan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang
lain yang bertindak menjamin penangguhan.
2. Sedang pada pembebasan dari tahanan harus berdasar ketentuan
Undang-Undang.Tanpa dipenuhi unsur-unsur yang ditetapkan
Undang-Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan.
Dalam hal oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak
diperlukan penahanan, oleh karena penahanan yang dilakukan tidak
sah dan bertentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas
waktu penahanan yang dikenakan sudah habis, sehingga tahanan harus 

dibebaskan demi hukum. Bisa juga oleh karena lamanya penahanan
yang dijalani sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping
itu, dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat
jaminan.
3. Penyidikan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia 

Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat selalu ada orang-orang yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa awal
perbuatan proses peradilan pidana itu dimulai dari masyarakat. Proses peradilan
pidana telah diatur dalam suatu sistem yang dinamakan Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System). 

Dalam sistem peradilan pidana kepolisian diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan dengan landasan hukumnya tercantum pada: 

a. Pasal 13 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. 

Undang-Undang tersebut diatas memberi wewenang kepada Polisi untuk
melakukan penyidikan yang melakukan penyidikan yang pelaksanaannya
didelegasikan kepada Penyidik Polri. Penyidik Polri bila dilihat dari Sistem
peradilan pidana, ternyata merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana
yang terdiri dari : Sub sistem Kepolisian,Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga 

Pemasyarakatan dan Advokat. Sub sistem tersebut mempunyai peranan masing-
masing yang satu sama lain berkaitan. 

Penyidik yang mengetahui (dengan cara apapun), menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana dan atau menerima penyerahan tersangka yang tertangkap tangan wajib
segera melakukan tindakan penyidikan (Pasal 106, 111 KUHAP) antara lain
segera mendatangani/memeriksa TKP (Tempat Kejadian Perkara), melakukan
pemanggilan tersangka,saksi,saksi ahli untuk diminta memberikan keterangannya,
melakukan penggeledahan, melakukan penyitaan barang bukti dan alat bukti yang
sah, mengirim korban kejahatan yang menderita luka atau yang sudah menjadi
mayat ke rumah sakit untuk diperiksa dan mendapatkan Visum Et Repertum dari
ahli kedokteran kehakiman/kedokteran forensik, melakukan penangkapan,
penahanan, mengambil sidik jari dan melakukan tindakan-tindakan lainnya sesuai
dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku untuk kepnetingan
penyelesaian penyidikan. 

Pasal 7 ayat (1) mengatasi wewenang dari penyidik yang kewenangan
tersebut adalah sebagai berikut: 

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d. Melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan dan penyitaan. 

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 

Maka dengan demikian penyidikan sebagaimana yang dimaksud dalam
KUHAP dimulai, bila penyidik melakukan wewenangnya selaku penyidik
berdasarkan surat perintah penyidikan yang sah yang diberikan oleh pejabat
berwenang. Bagi pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan surat perintah penyidikan
adalah alat pengaman yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan di pihak tersangka berarti jaminan dan
perlindunga terhadap hak-hak dan martabat tersangka. 

Tersangka yang merasa penyidikan yang dilakukan terhadap dirinya
tidak dilakukan berdasarkan surat perintah yang sah, dapat segera meminta
diperlihatkannya surat perintah penyidikan tersebut atau meminta penjelasan
kepada atasan penyidik. 

Dimulainya penyidikan ditandai secara formal prosedural dengan
dikeluarkannya surat perintah penyidikan oleh Pejabat yang berwenang di instansi
penyidik. Dengan diterimanya laporan atau pengaduan atau informasi tentang
terjadinya kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, tidak dengan sendirinya surat 

perintah penyidikan dikeluarkan. Pimpinan yang arif bijaksana akan segera
memerintahkan untuk meneliti kebenaran laporan tersebut dan menilai secara
cepat mapun cermat apakah sudah cukup alasan hukum dan bukti-bukti permulaan
bagi dimulainya penyidikan. 

Kegiatan penyidikan di samping merupakan yang tujuan akhirnya
keadilan, kepastian hukum dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat, juga
menimbulkan beban dan nestapa bagi anggota masyarakat sebagai akibat daya
paksa yang melekat pada kegiatan penyidikan. Di samping itu jangan sampai
kegiatan penyidikan yang sudah memakan waktu yang panjang, melelahkan,
menimbulkan beban psikis dan biaya besar, berakhir dengan penghentian atau
penghentian penuntutan karena kurang kuatnya bukti. 

Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat,
dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap
tahap berhubungan erat dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu
proses penanganan perkara pidana dikatakan suatu integrad criminal yustice
system. Yang dimaksud dengan integrad criminal yustice system ialah sistem
peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan
persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara
keseluruhan dan kesatuan. 

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa diadakannya lembaga
pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut dalam KUHAP adalah guna
meletakkan dasar-dasar kerja sama dan koordinasi fungsional-fingsional serta
merupakan sarana pengawasan secara horizontal antara instansi penegak hukum 

yang terkait, dalam rangka mewujudkan proses penanganan perkara pidana yang
dilaksanakan secara tepat, sederhana dan biaya ringan. 

Diadakannya lembaga pemberitahuan penyidikan juga erat hubungannya
dengan penghentian penyidikan. Karena untuk dapat menentukan bahwa suatu
penyidikan telah dihentikan, maka harus ditetapkan suatu momentum yang secara
yuridis menandai bahwa suatu penyidikan telah dimulai. Dengan ditetapkannya
kepada suatu penyidikan telah dimulai, maka akan jelas pula sejak kapan mulai
berlakunya hak dan kewajiban, fungsi dan wewenang serta tanggung jawab pihak-
pihak yang terkait dalam proses penanganan perkara pidana (tersangka atau
penasehat hukum, penyidik, penutut umum dan Hakim). 

Menurut ketentuan Pasal 109 ayat 1 KUHAP bahwa dalam hal penyidik
telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Pengertian mulai melakukannya penyidikan, ialah apabila dalam tindakan tersebut
penyidik telah menggunakan upaya paksa. 

Bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada
penuntut umum tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus segera
dilaksanakan oleh penyidik bila ia telah memulai suatu penyidikan. 

Dari rangkaian uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa: 

a. Penyidikan telah dimulai sejak dipergunakannya upaya paksa oleh
penyidik.
b. Dalam hal penyidikan telah dimulai penyidik wajib segera menyampaikan
pemberitahuan dimulainya penyidikan. 

c. Batas waktu penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan, ialah
segera setelah pemeriksaan tersangka.
d. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 3 huruf 1 a jo Pasal 110 ayat 1
KUHAP, penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum adalah
tindakan penyidik yang harus dilakukannya setelah penyelidikan selesai.
e. Sehubungan dengan uraian pada huruf d tersebut, maka penyampaian
pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan
berkas tahap pertama sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat 3 huruf a adalah
penyampaian pemberitahuan dimulainya penyidikan setelah penyidik
selesai melakukan penyidikan. Dengan demikian cara penyampaian
pemberitahuan dimulainya penyidikan bersamaan dengan penyerahan
berkas perkara tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan
ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP. 

Semua penyidikan yang dilakukan oleh penyidik baik penyidik
Polri,penyidik PNS maupun penyidik yang tergabung dalam Tim tetap penyidik
perkara Koneksitas, wajib menyampaikan pemberitahuan telah dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum. Terkecuali dalam hal undang-undang
menyatakan secara tegas bahwa pemberitahuan tersebut tidak diperlukan. Karena
pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut, ditetapkan sebagai hal yang
bersifat imperatif. 

Pengecualian terhadap prinsip umum tersebut terdapat dalam pasal 205
KUHAP, dalam ayat 1 dan ayat 2 pasal tersebut diatur tentang penyidikan perkara
pelanggaran lalu lintas atau tindak pidana ringan. Dalam hal demikian penyidik 

atas kuasa penuntut umum melimpahkan hasil penyidikannya langsung ke
pengadilan. Jadi, disini tidak dikenal proses prapenuntutan, oleh karena itu
pemberitahuan dimulainya penyidikan tindak diperlukan. 

Fungsi utama dari pemberitahuan dimulainya penyidikan itu, adalah
dalam rangka pelaksanaan tugas prapenuntutan, yakni penelitian berkas perkara
tahap pertama dan pemberian petunjuk oleh penuntut umum kepada penyidik
dalam hal hasil penyidikan belum lengkap.Oleh karen itu, seyogianya penyidikan
dilakukan oleh PNS pun diberitahukan kepada penuntut umum, setidak-tidaknya
dalam bentuk tembusan. 

Pasal 107 KUHAP tidak menyinggung tentang pemberitahuan
dimulainya penyidikan. Tetapi dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam hal
penyidik PNS melakukan penyidikan, maka ia memberitahukan hal itu kepada
penyidik Polri. Seyogiayanya penjelasan itu dilengkapai dengan anak kalimat
“dengan tembusan kepada penuntut umu”. 

Penyidikan tanpa pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum,
akan mengundang berbagai permasalahan pada tahap prapenuntutan. 

Sebenarnya bila pembentuk undang-undang konsekuen dengan sistem
mekanisme pemberitahuan dimulainya penyidikan sebagaimana diatur dalam
pasal 109 ayat 1 dan mekanisme penyerahan berkas perkara sebagaimana diatur
dalam pasal 8 ayat 3 huruf a dan huruf b KUHAP, maka rangkaian permasalahan
tersebut diatas tidak akan terjadi, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimum
mungkin. 

Sejak saat penyidik sudah mulai melakukan penyidikan maka penyidik
yang bersangkutan wajib segera memberitahukan dimulainya penyidikan itu
kepada penuntut umu dengan menggunakan formulir SERSE : A3 yang lazim
dinamakan SDPD (SuratPemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Untuk daerah
terpencil atau yang sulit transportasinya, pengirimannya dapat dilakukan melalui
upaya komunikasi lain sesuai dengan fasilitas yang ada kemudian segera disusul
dengan SDPD (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). 

Oleh karena yang dimaksud dengan tindakan penyidikan merupakan
serangkaian tindakan upaya paksa antara lain dimulai dari tindakan pemanggilan
dan pemeriksaan saksi, tersangka, orang ahli, penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan lain-lain. Untuk itu sejak saat penyidik mulai
melakukan salah satu tindakan upaya paksa, maka penyidik wajib segera
mengirimkan SDPD kepada penuntut umum disertai lampiran berupa laporan
Polisi/Surat Pengaduan. Dengan diterimanya SDPD maka KAJARI (Kepala
Kejaksaan Negeri) segera memerintah/menunjuk Jaksa untuk bertindak selaku
Penuntut umum (PU) guna mengikuti perkembangan kegiatan penyidikan yang
bersangkutan. Dengan demikian terjadilah hubungan koordinasi fungsional antara
penyidik dengan penuntut umum antara lain dilakukan dalam bentuk komunikasi
dan konsultasi. Bahkan dalam praktek penegakan hukum selama ini terutama
dalam kegiatan penyidikan terhadap perkara-perkara penting yang mendapatkan
sorotan tajam dari masyarakat luas atau yang mempunyai bobot/dampak
nasional/internasional atau biasanya secara proaktif/berinisiatif sejak awal
membantu/mendampingi langkah-langkah kegiatan penyidikan terutama dalam 

melakukan proses pengolahan dan penilaian terhadap keberadaan alat-alat bukti
yang sah (BAB XVI Bagian keempat pasal 183 s/d 189 KUHAP). Hal tersebut
dilakukan tanpa mencampuri atau mengambil alih kewenangan penyidikan,
melainkan semata-mata bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian
penyidikannya dan mencegah terjadinya bolak-baliknya Berkas perkara dari
penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya yang tidak jarang terjadi sampai
berulang kali, sehingga bertentangan dengan asas penyelesaian perkara secara
cepat, sederhana, dan biaya ringan (pasal 110 jo 138 KUHAP). Berkas perkara
hasil penyidikan dari penyidik kepada penuntut umum akan diuraikan dalam BAB
Prapenuntutan.
Peranan Penyidik Polri dalam sistem peradilan pidana berada pada
bagian terdepan dan merupakan tahap awal mekanisme proses peradilan pidana
yaitu: Pemeriksaan pendahuluan. Tugas-tugas penyidikan itu berhubungan
dengan: penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan surat,
pemeriksaan saksi/tersangka, bantuan ahli. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan
dalam arti bahwa suatu penyidikan dilakukan terhadap seseorang yang diduga
melakukan suatu Tindak Pidana. 

Dalam hal penyidik Polri bertemu dengan tersangka dan saksi-saksi,
maka dibuatlah laporan tertulis dan menghimpun semua keterangan dari saksi dan
tersangka dalam suatu berita acara tertulis sampai lengkap. 11 

11 H.C Hulsman, Sistim Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum,
C.V.Rajawali, Jakarta 1984, hal.138 

Fungsi penyidikan ditangan Kepolisian meliputi sarana hukum dan
sarana tekhnik. Penyidikan dengan menggunakan sarana hukum antara lain dalam 

hal melakukan tindakan-tindakan: penyelidikan,penyidikan,pemanggilan terhadap
tersangka dan saksi, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan hubungan antara
penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum. Penyidikan dengan menggunakan saran
tekhnik, yaitu melakukan tindakan-tindakan:identifikasi, daksiloskopi,
pemeriksaan ditempat kejadian perkara, autopsi, dan interogasi terhadap tersangka
dan saksi. Penyidik polri dalam menemukan kebenaran terhadap suatu kasus
pidana menerapkan taktik tertentu guna melengkapi hasil penyelidikan, taktik
penggeledahan, taktik penghadangan dan lain-lain. 12
Penggunaan sarana hukum dan saran tekhnik tersebut untuk mencari
kebenaran materil yang proses pembuktiannya diuji di sidang pengadilan. Apabila
penyidik kepolisian akan menyerahkan berkas perkara bersama barang bukti dan
tersangkanya kepada pihak kejaksaan untuk diajukan ke sidang pengadilan.
Penyidik mempunyai peranan penting dan merupakan ujung tombak
dalam proses penegakan hukum pidana. Kinerja penyidik berpengaruh besar
dalam proses penanganan perkara pidana. Dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa ada 2 pejabat yang berkedudukan sebagai penyidik, yaitu Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. 

12 D.P.H Sitompul, Peranan Penyidik Polri Dalam Sistim Peradilan Pidana (Hukum
dan Pembangunan), No.6 Th.XXIII, Desember 1993, hal.568 

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyidik sudah diatur dalam PP No. 27
Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan 

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) namun dalam
perkembangannya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam
masyrakat dan belum dapat sepenuhnya berperan dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Oleh karenanya, perlu mengubah ketentuan peraturan pemerintah
tersebut. 

Perubahan terhadap PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kualitas kinerja dan profesionalitas penyidik dalam melaksanakan
tugas, fungsi dan wewenangnya. Salah satu nya dengan meningkatkan persyaratan
untuk dapat diangkat menjdi penyidik seperti pendidikan paling rendah,pangkat
atau golongan dan bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum. 13 

13 RPP tentang Perubahan PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, http://202.148.5.220/indeks.php/harmonisasi-
rpp/354/rpp-ttg-perubahan-pp-nomor-27-tahun-1983-tentang-pelaksanaan-kitab-undang-
undang-hukum-acara-pidana, diakses pada tanggal 22 februari 2010 

F. Metode Penelitian 

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu.
Sebagaimana tentang cara penelitian harus dilakukan, maka metode penelitian
yang digunakan penulis mencakup antara lain : 

1. Jenis Penelitian 

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
(penelitian hukum doktrinal). Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian
hukum doktriner, karena penelitian dilakukan atau ditujukan hanya pada 

peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum
ini juga disebut juga dengan penelitian kepustakaan ataupun studi doukmen
disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula
dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 

2. Data Dan Sumber Data 

Data yang digunakan adalah data sekunder dan di dukung data primer. Data
sekunder diperoleh dari : 

a. Bahan hukum primer 

Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983
Angka 8 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. 

b. Bahan hukum sekunder 

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan yang relevan dengan judul ini. 

c. Bahan hukum tertier 

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum. 

Sedangkan data primer yang digunakan dalam penulisan ini yaitu hasil
wawancara penulis di Poldasu Medan. 

3. Teknik Pengumpulan Data 

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 

- Library research (penelitian kepustakaan) 

Yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan,
buku-buku, berbagai literatur dan juga berbagai peraturan Perundang-
Undangan yang berkaitan dengan penangguhan penahanan dalam proses
pemeriksaan perkara pidana pada tingkat penyidikan. 

- Field research (penelitian lapangan) 

Yaitu dengan meneliti langsung ke lapangan mengenai penangguhan
penahanan dalam proses pemeriksaan perkara pidana pada tingkat
penyidikan dalam hal ini di wilayah kerja Poldasu Medan. 

4. Analisis Data 

Data sekunder yang telah diperoleh melalui studi pustaka diklasifikasi
dan diurutkan dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar. Keseluruhan data
akan dianalisa secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi. 

Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap informan yaitu
penyidik dari Poldasu Medan. 

G. Sistematika Penulisan 

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula
memperoleh manfaat nya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan 

yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat
sebagai berikut : 

Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah dalam penulisan skripsi, tujuan
dan manfaat penulisan, keaslian judul, menguraikan tentang tinjauan kepustakaan
yaitu pengertian penahanan dan pengguhan penahanan,penyidikan dalam hukum
acara pidana di Indonesia, menjelaskan metode penelitian dan skripsi ini dan bab
ini ditutup dengan memaparkan sistematika penulisan. 

Bab II Pengaturan penangguhan penahanan dalam Hukum Acara Pidana
di Indonesia. Bab ini membahas mengenai penangguhan penahanan menurut HIR
dan KUHAP, penangguhan penahanan menurut PP Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Jamianan Uang maupun Jaminan Orang dan Keputusan Menteri No. M.
14-PW. 07.03/1983. 

Bab III Faktor-faktor yang menjadi dasar penerimaan dan penolakan dan
penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di tingkat penyidikan
(studi di Poldasu). Dalam bab ini juga dibahas mengenai prosedur permohonan
penangguhan penahanan pada tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi
dasar penerimaan penangguhan penahanan dalam pemeriksaan perkara pidana di
tingkat penyidikan, faktor-faktor yang menjadi dasar penolakan pada tingkat
penyidikan. 

Bab IV Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan perumusan suatu
kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya yang juga
merupakan jawaban terhadap permasalahan yang diajukan pada penulisan ini. 

Bagian saran menguraikan saran-saran dari penulis untuk masalah yang ada di
masyarakat yang diharapkan akan dapat berguna dalam praktek.
Hasil Pencarian Anda:
1. penangguhan penahanan dalam kuhap
2. alasan penangguhan penahanan
3. dilakukan penangguhan hukum acara pidana
4. proposal penelitian mengenai tindakan pidana
5. sebab terjadi penangguhan tahanan
6. penahanan sebagai bentuk penempatan tersangka pada suatu tempat tertentu harus memenuhu syarat adalah
7. proses penyidik dalam melakukan penahanan di tempat kejadian perkara
6. penangguhan penahanan adalah
7. dasar dasar penangkapan
8. penjelasan penangkapan dan penahanan dalam kuhp
9. kesimpulan untuk akibat hukum penangguhan penahanan dengan jaminan orang apabila terdakwa melarikan diri meneurut kuhp
10. pengertian penangkapan dan penahanan hukum
11. proses penangguhan penahanan
12. penahanan dalam hukum acara pidana
13. penjelasan surat penangguhan pidana
14. definisi penangguhan penahanan

Sumber : lawmetha.wordpress.com

No comments:

Post a Comment