Tuesday, July 24, 2012

Keadilan Hukum dan Sosial Menjauhkan Asas Legalitas Serta Kepastian Hukum


Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu apabila terjadi pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan, perlu saya tulis bunyi pasal 12 draft RUU KUHP 2005-2006 yang kurang lebih berbunyi ” Dalam mempertimbangkan hukum yang diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di atas kepastian hukum”. RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk) apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu haruslah diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka apabila keadilan dan kepastian hukum saling mendesak maka hakim sejauh

Monday, July 23, 2012

Stelsel Pidana


Stelsel Pidana (Pasal 10 KUHP), terdiri atas :

Pidana pokok 

- Pidana mati 

Dijalankan oleh algojo dengan cara digantung (Pasal 11).Diubah dengan “tembak mati” (UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer) 

- Pidana penjara 
  1. Seumur hidup 
  2. Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu.

Penangguhan Penahanan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia


BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 

Hukum materiil seperti yang terjelma dalam Undang-undang atau yang
bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana
selayaknya berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah mata-mata sekedar
sebagai pedoman untuk dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk
dilaksanakan atau ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu
melaksanakan hukum. Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali
kita tanpa sadari kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan
dimonopoli oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum.

ASAS-ASAS dalam Hukum Acara Pidana (HAPID)


1. Asas Equality Before The Law
Asas ini merupakan asas yang fundamental. Dalam pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan perbedaan status, dan sebagainya. Dalam setiap beracara pidana di Indonesia kita harus mempunyai kedudukan yang sama. (Hak-haknya harus diperlakukan sama, misal jika polisi duduk di bangku, maka tersangka juga punya hak yang sama untuk duduk di bangku).
2. Asas Premsumption of Innocent (Asas Praduga tak bersalah) 
Bahwa setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan atau dihadapkan di muka siding wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Adanya penahanan semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan untuk penghukuman (penahanan tidak sama dengan penghukuman.
3. Asas legalitas
Bahwa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakuakan bersarkan perintah tertulis oleh pejabata yang berwenang oleh Undang-undang dan hanya untuk hal yang diatur dalam Undang-undang.
4. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi
Asas yang fundamental ini, juga ada dalam asas dalam deklarasi HAM. Dalam setiap pelaksanaan Hapid sejak

Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana


Perbedaan Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana

Perbedaan mengadili

  1. Hukum Acara Perdata mengatur cara mengadili perkara di muka pengadilan perdata oleh hakim perdata
  2. Hukum Acara Pidana mengatur cara mengadili perkara di muka pengadilan pidana oleh hakim pidana

Perbedaan pelaksanaan

  1. Pada Acara Perdata inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan

Asas-asas Hukum Acara Perdata


  1. Hakim Bersifat Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.(pasal 118 HIR, 142 Rbg.)
  2. Hakim Pasif : hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
  3. Sifat Terbukanya Persidangan : sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hokum.
  4. Mendengar Kedua Belah Pihak : dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
  5. Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
  6. Beracara di Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai.
  7. Tidak ada keharusan mewakilkan : pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan.
Sumber : HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA
(PROF.DR. SUDIKNO MERTOKUSUMO, SH.)

Perihal Kekuasaan Mutlak dan Kekuasaan Relatif yang harus diketahui seseorang sebelum mengajukan Gugatan


Hukum Acara Perdata di Indonesia mengenal 2 (dua) macam kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi/kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.
Tujuan utama membahas kekuasaan/kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Ada 2 (dua) macam kewenangan yaitu kewenangan mutlak (absolute competentie) dan kewenangan relatif (relative competentie).
Kewenangan mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan absolut untuk mengadili. Misalnya masalah perceraian bagi pihak-pihak yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kewenangan mengadili tersebut ada pada Pengadilan Agama. Contoh lain mengenai masalah sewa menyewa, utang-piutang, jual-beli, gadai, hipotek adalah berada dalam kewenangan Pengadilan Negeri (“PN”).

Prosedur Pengajuan Gugatan Pada Pengadilan Negeri


Dalam kehidupan bermasyarakat terkadang timbul permasalahan hukum baik yang di sengaja maupun yang tidak terduga antara anggota masyarakat yang mengakibatkan persinggungan kepentingan masing-masing. Apabila permasalahan hukum tersebut ternyata tidak kunjung selesai dengan cara damai melalui negosiasi, mediasi, kompromi dan lain sebagainya, maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa kepentingan hukumnya teraniaya atau terusik dengan tindakan pihak lain yang merugikannya adalah dengan mengajukan suatu tuntutan hak berupa gugatan perdata terhadap permasalahan hukum tersebut pada Pengadilan Negeri yang berwenang dalam wilayah hukumnya berdasarkan Pasal 118 HIR.

Tahap-Tahap Pengajuan Gugatan
  1. Gugatan diajukan oleh orang yang berkepentingan menggugat (biasa disebut dengan Penggugat) dan/atau kuasa hukumnya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa khusus untuk menggugat pihak lain yang merugikan kepentingan hukumnya kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri yang berwenang;
  2. Gugatan tersebut didaftarkan Penggugat dan/atau kuasa hukumnya pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang dalam wilayah hukumnya;

Pentingnya Kuasa Khusus untuk mengajukan Permohonan atau Gugatan


Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), menjelaskan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam surat kuasa khusus menjelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 123 Herziene Indonesische Reglemen (“HIR”), bahwa untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. Adapun ketentuan mengenai surat kuasa yang disebut dalam Pasal 1795 KUH Perdata dapat menjadi sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, jika sesuai dengan syarat-syarat pokok yang terdapat dalam Pasal 123 ayat (1) HIR yaitu, kuasa khusus harus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus.

Gugurnya Suatu Gugatan


Terkadang di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu gugatan. Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah ditentukan harinya dan telah dipanggil secara sah dan patut, dirinya tidak hadir atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk datang menghadiri persidangan tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.”